Jingga dalam Senja
“ehekhekhekhek.....
jenengan niku senenge garai kulo ngekek bu suster”
Kalimat
itulah yang akan keluar dari mulut pasienku mbah J (nama sengaja saya tulis
dengan inisial untuk menjaga privasi pasien). Pasien? Iya, aku adalah mahasiswa
keperawatan yang sedang melakukan praktek klinik di rumah sakit jiwa dekat
kotaku. Tempat dimana aku merawat orang – orang yang masyarakat sering anggap
sebelah mata dengan keadaan mereka dan salah satunya adalah mbah J. Mbah J
adalah pasienku dengan gangguan halusinasi pendengaran dan sudah lumayan lama
dirawat di bangsal tempatku belajar. Datang diantar anaknya, mbah J dikabarkan
sering keluyuran saat dirumah.
Ketika
pertama kali aku melihat beliau, hal pertama yang melintas dipikiranku adalah
orang tua yang suka pipis disembarang tempat dan susah untuk dinasehati. Namun
ketika berbicara dengannya, aku mengetahui betapa Allah itu Maha Kuasa dan
sayang kepada hamba-Nya.
Pagi
hari setelah sarapan, semua pasien akan dibawa jalan – jalan berkeliling rumah
sakit oleh perawat dengan tujuan akhir ke tempat rehabilitasi psikologi. Aku
menuntun mbah J yang karena faktor usia beliau tidak bisa berjalan secepat
lainnya, dengan kepolosannya beliau menjawab setiap pertanyaan yang aku
lontarkan. Entah kenapa aku senang bercakap – cakap dengannya, apalagi saat aku
mendengarnya tertawa jika diajak bercanda denganku atau dengan teman – temanku.
Pikun, itulah penyakit yang sesungguhnya ada pada mbah J karena usianya yang
sudah senja. Bukan penyakit jiwa, tapi demensia yang membuatnya sering
beranggapan ada suara motor yang akan menjemputnya pulang dari rumah sakit.
Hari ini, agenda kita adalah pengajian yang membahas mengenai manfaat berdzikir
dalam menghilangkan halusinasi. Posisiku duduk tepat mengarah pada posisi mbah
J, aku bisa melihatnya menirukan setiap dzikir dan sholawat dan dzikir yang Bu
ustadzah ajarkan, aku bisa melihat ekspresinya yang bingung apabila lupa dengan
dzikir yang baru 3 menit yang lalu diajarkan, aku bisa melihat giginya yang
goyang ketika tertawa ketika berbicara dengan pasien lainnya. Perlahan – lahan
air mataku meleleh menghangatkan pipiku, dalam usianya senjanya beliau tampak
jingga dengan kekuatan tanpa penguat, pikiranku melayang teringat akan
perbuatanku selama ini yang kurang bersyukur.
Siang
itu seperti biasanya perawat mendampingi pasien agar mau makan dan minum obat
dengan benar, namun tak kulihat mbah J ada dikursinya. Dengan ditemani temanku
aku membangunkan mbah J yang ternyata tidur di kasurnya. Susah payah aku
membangunkan beliau yang jika sudah tidur sangat susah dibangunkan bahkan waktu
itu aku sempat memposisikan mbah J duduk, dengan posisi seperti itu pun mbah J
masih tertidur. Akhirnya pasien lain makan tanpa mbah J, kami meyisahkan jatah
makannya untuk dimakan ketika bangun. Lama kutunggu mbah J bangun, hampir 2 jam
akhirnya beliau bangun dengan keadaan bau karena beliau mengompol dan mengeluh
lapar. Setelah memandikan dan mengganti pakaiannya aku teringat jika mbah J
punya obat yang harus diminum, namun ketika hendak mengambilkan makan untuk mbah
J ternyata tidak ada lauk yang disisihkan untuknya. Rasaku ingin menangis,
entah kenapa aku yang sakit hati padahal mbah J duduk tenang di kursi ujung
ruangan. Dengan berat kuambil 2 buah pisang untuknya, makin tersayat hatiku
beliau menerima dengan polosnya dan langsung makan dengan lahap. Sambil
bercerita mengenai keahidupannya yang aku tau itu hanya sebuah fantasi dari
alam pikirannya yang masih bisa dia ingat dan fiksi dari sel – sel otaknya yang
sudah rapuh.
Mbah J
yang mendidik dan membesarkan anak gadisnya sendiri karena bahkan dia tidak
tahu sampai sekarang siapa yang menghamilinya dulu, hingga mempunyai keluarga
yang menghadiahkannya seorang cucu yang cantik. Hanya bisa menunggu semua ini
berakhir, pernah satu waktu anaknya dan cucunya menjenguknya namun hanya diluar
ditemani hujan yang mengiringi tangisannya melihat ibunya dan tak bisa berbuat
apa – apa.
Aku tak
pernah bosan memperkenalkan diriku setiap 3 atau 5 menit sekali kepadanya, aku
tak pernah risih dengan baunya dan badannya yang melekat dibadannya, aku selalu
sabar untuk menuntunnya atau menunggunya selesai makan saat pasien lain sudah
beranjak dari tempatnya, ketika beliau sudah berkata “bu kulo tak wangsul
rumiyin ndak niko sek methuk kecelik” namun setelah beranjak 7 langkah aku tak
pernah lelah menuntunnya dan menawarkan “sare nggeh mbah?” kepada beliau
padahal aku tahu jawabannya pasti “nggeh bu suster”.
Hari
ini adalah hari ke-3 ku bersama mbah J, dan aku masih punya 19 hari yang harus
kulalui bersama mbah J dan pasien – pasienku yang lain yang mengajarkanku arti
hidup melalui angan – angan mereka.
Selasa,
18 Oktober 2017
Komentar
Posting Komentar